Dialog; Realisasi Konsep Non-Kekerasan Gandhi

 

Penulis: 
Klaudius Adi Bay Riang Hepat

 

1.   Mohandas Karamchand Gandhi

Mohandas Karamchand Gandhi dilahirkan di Porbandar yang dikenal pula dengan nama Sudamapuri pada tanggal 2 Oktober 1869. Gandhi adalah pemimpin terkemuka nasionalisme India. Dia adalah salah satu dari sedikit orang dalam sejarah yang berjuang secara bersamaan di bidang moral, agama, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Selama menjadi pengacara di Afrika Selatan, dia mengembangkan strateginya tentang non-kekerasan: gagasan menentang hukum yang tidak adil dengan protes tanpa kekerasan. Dia dikreditkan untuk pengembangan satyagraha - kombinasi perlawanan tanpa kekerasan dan pembangkangan sipil - yang sangat penting bagi perjuangan kemerdekaan India. Filsafat dan pemikiran Gandhi relevan dalam dunia yang terus berubah saat ini dan dapat membantu di saat-saat sulit, dan filosofi tersebut juga penting untuk perdamaian global. Kehidupan Gandhi menginspirasi semua orang untuk evolusi diri. Mohandas Karamchand Gandhi adalah seorang pria yang dianggap sebagai salah satu orang bijak dan nabi besar. Dia dianggap sebagai Buddha lain, Yesus yang lain, orang India memanggilnya 'Bapak Bangsa'. Dia adalah seorang pencari Kebenaran yang rendah hati. Dia adalah pria dengan ketulusan, kejujuran dan kejujuran yang luar biasa. Baginya, pengertian berarti tindakan. Begitu prinsip apa pun menarik perhatiannya, dia segera mulai menerjemahkannya dalam praktik. Kebenaran adalah satu-satunya bintang penuntunnya. Dia mengorbankan segalanya dan mengidentifikasi dirinya dengan yang termiskin dari yang miskin.

2.      Dialog

Dialog (kadang-kadang di eja sebagai dialog pada Bahasa Inggris Amerika) adalah sebuah literatur dan teatrikal yang terdiri dari percakapan secara lisan atau tertulis antara dua orang atau lebih. Sejarahnya berasal sebagai narasifilosofi atau lambang dedikasi yang dapat ditemukan di Literatur Yunani Kuno dan Literatur India, khususnya pada seni kuno yaitu Retorika. Mempunyai kehilangan kontak hampir semuanya pada abad ke-19 dengan dasar-dasar dalam retorika, gagasan dialog muncul ditransformasikan dalam pekerjaan kritikus kebudayaan seperti Mikhail Bakhtin dan Paulo Freireteolog seperti Martin Buber, sebagai sebuah eksistensial paliatif untuk melawan atomisasi dan keterasingan sosial dalam masa masyarakat industri.

Dialog adalah langkah yang sangat diperlukan di sepanjang jalan menuju realisasi diri manusia, realisasi diri baik dari setiap individu dan setiap komunitas manusia. Meskipun konsep "dialog" mungkin tampak memberi prioritas pada dimensi kognitif (dia-logos), semua dialog menyiratkan dimensi eksistensial global. Ini melibatkan subyek manusia secara keseluruhan; dialog antar komunitas melibatkan subyektivitas masing-masing dengan cara tertentu. Kebenaran tentang dialog ini, yang diungkapkan secara mendalam oleh Paus Paulus VI dalam Ensikliknya Ecclesiam Suam, juga diangkat oleh Konsili dalam pengajaran dan aktivitas ekumenisnya. Dialog bukan sekadar pertukaran gagasan. Dalam beberapa hal ini selalu merupakan "pertukaran hadiah,”

3.      Dialog: Realisasi Konsep Non-Kekerasan Gandhi

Masyarakat tersusun dari jaringan relasi yang sistematis, namun relasi-relasi ini penuh dengan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem sosial secara sistematis menimbulkan konflik. Konflik adalah percecokan; perselisihan; pertentangan. Karena itu konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan salah satu ciri dari sistem sosial. Konflik yang demikian cenderung nampak dalam kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, konflik telah memungkinkan terjadinya perubahan di dalam masyarakat. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional dan anarkistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas, dan pendek pikir. Dalam sekejap, kekerasan dapat membalikkan kesan tentang kehalusan  dan kebaikan manusia. Manusia yang seharusnya ada untuk mengasihi dan memelihara kehidupan, ternyata tidak dapat dipisahkan dari realitas kekerasan. Inilah sebuah paradoks kehidupan. Paradoks ini amat nyata dalam pergulatan eksistensial manusia melawan kecenderungan akan yang jahat di dalam dirinya.

Non-kooperasi mengambil berbagai bentuk yaitu pemogokan, boikot, penarikan polisi dan militer, tidak membayar pajak, boikot pengadilan, sekolah dan legislatif dan menjalankan institusi untuk menjalankan fungsi-fungsi ini. Ini adalah jenis perlawanan tanpa kekerasan terhadap kejahatan otoritas pemerintah yang tidak lain adalah kekerasan terorganisir atau kekerasan dalam bentuk terkonsentrasi. Non kooperatif dapat diadopsi sebagai gerakan massa dalam skala nasional untuk melawan seluruh pemerintahan yang korup dan mengalami demoralisasi. Singkatnya, operasi non-kekerasan tanpa kekerasan adalah upaya untuk menyadarkan massa akan martabat dan kekuasaan mereka. Non-kerjasama tanpa kekerasan dipahami oleh Gandh sebagai sebuah kewajiban karena non kerjasama dengan kejahatan adalah sebanyak sebuah kewajiban seperti halnya kerjasama dengan kebaikan.

Melihat situasi dunia yang semakin maju dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memunculkan dua problem penting yang turut menjadi perhatian banyak orang. Ditemukan bahwa, ternyata perkembangan IPTEK tidak selamanya membawa dampak yang positif bagi manusia, tetapi di satu sisi malah menimbulkan pengaruh negatif bagi dunia saat ini. Pesatnya kemajuan IPTEK tidak selamanya memberikan jaminan untuk berkembangannya etika dan moral pada masyarakat. Masyarakat memang semakin pintar secara intelektual, akan tetapi merosot dalam hal etika dan moral. Perhatian yang selalu tertuju untuk mencerdaskan bangsa, justru berdampak pada karaktek masyarakat yang tak terkontol. Konflik, peperangan, kekerasan dan segala tindakan amoral lainnya menjadi pokok permasalahan yang terjadi di seluruh belahan dunia saat ini. Contoh yang paling Nampak dapat dilihat dari kasus kemanusiaan yang terjadi di palestina, atau di Negara-negara lain yang marak terjadi tindakan kekerasaan terhadap anak dan perempuan.

Dialog merupakan salah satu konsep non-kekerasan terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah politik, genjatan senjata, konflik, peperangan, dan masalah kemanusiaan anti kekerasaan lainnya. Karena, tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan kekerasaan atau tindakan fisik lainnya. Berbicara dari hati ke hati dengan kepala dingin yang bertitik tolak pada kemanusiaan, justru lebih menolong daripada mengangkat senjata yang akhirnya harus menalan banyak jiwa.

4.      Kesimpulan

Dialog merupakan instrumen alami untuk membandingkan sudut pandang yang berbeda dan di atas segalanya, untuk memeriksa perbedaan pendapat yang menghambat persekutuan penuh antara semua orang. Definisi ini tentu saja tidak berhubungan dengan cara berpikir personalis masa kini. Kapasitas untuk "dialog" berakar pada sifat orang tersebut dan harga dirinya. Seperti yang terlihat oleh filsafat, pendekatan ini terkait dengan kebenaran Kristen mengenai manusia sebagaimana diungkapkan oleh Konsili: manusia sesungguhnya adalah "satu-satunya makhluk di bumi yang dikehendaki Allah untuk dirinya sendiri"; karena itu ia tidak dapat "sepenuhnya menemukan dirinya kecuali melalui hadiah tulus dari dirinya sendiri" Dialog adalah langkah yang sangat diperlukan di sepanjang jalan menuju realisasi diri manusia, realisasi diri baik dari setiap individu dan setiap komunitas manusia. Meskipun konsep "dialog" mungkin tampak memberi prioritas pada dimensi kognitif (dia-logos), semua dialog menyiratkan dimensi eksistensial global.

Kekerasan bukanlah satu-satunya jalan keluar terbaik dalam setiap permasalahan hidup. Adalah perlu untuk beralih dari pertentangan dan konflik ke situasi di mana masing-masing pihak mengakui pihak lain sebagai mitra. Ketika melakukan dialog, masing-masing pihak harus mengandaikan keinginan yang lain untuk rekonsiliasi, untuk kesatuan dalam kebenaran. Agar ini terjadi, setiap tampilan oposisi bersama harus menghilang. Hanya dengan demikian dialog akan membantu mengatasi perpecahan dan membawa kita lebih dekat ke persatuan. Tanpa adanya sebuah komunikasi yang baik, maka kerjasama yang baik pun tidak akan berjalan dengan baik. Dengan dialog setiap orang memperoleh pengetahuan yang lebih benar dan lebih menghargai pengajaran dan kehidupan keagamaan. Selain itu, dialog merupakan sarana untuk bekerja sama lebih dekat dalam proyek apa pun yang dituntut oleh hati nurani Kristen demi kebaikan bersama.

 

Sumber:

·         Benyamin Y. Bria, Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Bagaimana Menyikapinya- Kajian Teologis Dan Yuridis, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003.

·         Herman P. Panda dan Oktovianus Naif, Pr (eds), Membedah Kekerasan Dalam Keluarga, Yogyakarta: Amara Books, 2009

·         M. K. Gandhi, Mahatma Gandhi, SebuahAutobigrafi, Jakarta: PT. Buku Kita, 2009.

 

Komentar