FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT RADHAKRISHNAN DAN RELEVANSI BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA

 

Oleh: Anselmus Betu Raro

Mahasiswa Semester 8 Fakultas Filsafat

Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang

 

Pengantar

Agama semakin menunjukkan wajah yang paradoks; di satu sisi ia menjadi sumber nilai manusia dalam menjalani hidup, mengabarkan kedamaian, moralitas, persaudaraan, kesalehan sosial, dengan mengakui keberadaan Tuhan sebagai yang absolut, namun di sisi lain atas nama agama, manusia bisa berprilaku bengis, penuh kebencian, sampai berujung pada pembantaian, pembunuhan massal, dan terkebirinya nilai-nilai kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, dunia pendidikan kita sedang gencar bicara soal pendidikan karakter. Menariknya, agama menjadi salah satu sumber acuan pendidikan karakter tersebut. Pertanyaan sederhana muncul, pendidikan karakter seperti apa yang dimaksud dan diberikan oleh agama dalam situasi ketegangan agama seperti ini? Apalagi jika agama melulu diajarkan secara eksklusif bukan inklusif. Kotbah agama yang digelar di tempat suci secara eksklusif, termasuk di dalam ruang kelas, sekonyong-konyong dengan materi-materi agama yang justru mempertajam imaji kebencian umat beragama, hanya akan melonggarkan disparitas ‘aku’ dan ‘bukan aku’, menganggap agama lain sebagai sesuatu yang ‘liyan’. Pada titik ini, penganut agama malah akan bersikap intoleran terhadap sesamanya.

Tugas pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Hindu, di sini memang cukup berat. Ia harus mampu mengatasi problem fundamentalis tersebut, membuka cakrawala baru pendidikan agama yang menghargai nilainilai kemanusiaan, toleransi, hidup bersama, kedamaian dunia, menjadi sumber nilai yang universal dan memberi ‘nutrisi’ segar dalam menghadapi kemajuan zaman. Di sini agama menjadi penting menunjukkan sifat yang kontekstual, ia tidak lagi berada dalam ruang pengap yang tertutup, ia harus hadir untuk menjawab persoalan dunia, persoalan kemanusiaan, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai spiritualitas – sesuai dengan tujuan pendidikan dalam pandangan Hindu. Seperti kata Hans Kung dalam buku Etik Global (1999), mustahil muncul perdamaian dunia, jika tidak didahului dengan perdamaian antar agama. Maka cukup jelas, pendidikan agama sangat berperan dalam membangun perdamaian tersebut dengan menyelipkan nilai-nilai agama yang universal. Dalam artikel ini penulis mencoba menelusuri pemikiran filosofis tentang pendidikan dari pemikiran Hindu. Salah satunya adalah S. Radhakrishnan.

Pendidikan Menurut Pemikiran Hindu

Dr. Radhakrishnan adalah salah satu filsuf India yang berbicara tentang pendidikan. Pandangan Radhakrisnan tentang pendidikan cukup reflektif – dan berawal dari kegelisahannya melihat krisis karakter, takhayul dan pelanggaran kewajiban yang terjadi di India. Radhakrishnan sangat yakin bahwa bangsa tidak bisa maju, meningkatkan standar generasi muda dan masyarakat sebelum adanya pendidikan yang tertanam kuat. Radhakrishnan menganggap pendidikan sebagai faktor sosial terpenting. Dia mengecam keras apa yang kini terjadi pada pendidikan–hal berbahaya seperti “pembelajaran yang dangkal”. Dia menekankan perlunya perubahan baru dalam pendidikan. Sama halnya dengan Plato yang menganggap pendidikan harus mendapatkan tempat utama dan menjadi perhatian serius Negara. Menurut Plato, pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh Negara (Rapar, 1988:109). Kebobrokan masyarakat yang begitu parah tidak akan dapat diperbaiki dengan cara apapun kecuali pendidikan. Dalam pandangan Plato, pendidikan adalah faktor satu-satunya yang sanggup menyelamatkan manusia dan Negara dari kehancuran dan kemusnahannya. Radhakrisnan juga menganggap pendidikan sebagai faktor sosial terpenting. Pendidikan harus diberikan kepada semua orang oleh Negara, karena ia merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama. Jika para warga memiliki pendidikan yang baik, mereka akan dapat melihat celah-celah sempit yang bisa menimbulkan malapetaka, dan menghadapi keadaan darurat. Radhakrisnan juga mengkritik institusi pendidikan saat itu yang tidak mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kecerdasan, melainkan mencetak generasi dengan pola-pola disetujui, dicekoki informasi dan diajarkan supaya memberikan jawaban benar terhadap rasialisme dan agama.

Radhakrishnan berpendapat bahwa Negara berkewajiban moral untuk menjadikan pendidikan terjangkau oleh semua warga. Hanya warga yang tercerahkan yang mampu membesarkan dan memperkaya budaya dan tradisi bangsa. “Fasilitas memang harus disediakan bagi seluruh warga untuk melatih diri mereka sendiri untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan diri, namun tidak perlu adanya anjuran untuk melanggengkan pemisahmisahan. Keterbelakangan ekonomi, dan bukan kasta atau komunitas yang kebetulan menjadi asal-muasal seseorang, harus menjadi ujian untuk memberikan kelonggaran tertentu. Negara harus memberi kesempatan pendidikan bagi kaum tertinggal, dari agama atau masyarakat apa pun. Dalam dunia yang kompetitif, jika kita ingin bertahan, para cerdikpandai kita harus diberi kepercayaan dengan tanggungjawab tinggi. Pemberian jabatan harus dilandaskan pada efisiensi, namun kelemahan yang dimiliki oleh golongan rendah juga harus sesegera mungkin dihilangkan.”

Relevansi Bagi Pendidikan

Pandangan Radhakrisnan mengenai pendidikan terletak pada tujuannya dalam mempertemukan pendidikan spiritual dan sosial untuk merekonstruksi sebuah masyarakat ideal di mana orang-orangnya bebas dari kebodohan dan tabiat buruk. Pendidikan spiritual tidak meniadakan aspirasi sosial, namun ia menandakan cita-cita duniawi. Tujuan tertinggi dari pendidikan spiritual adalah moksa, namun ini mesti dicapai di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Tujuan dari pendidikan spiritual adalah memanunggalkan jasmani dan ruhani. Dengan begitulah kehidupan akan damai dengan sendirinya. Sementara itu, secara sosial, fungsi dari pendidikan sejati adalah meredakan perselisihan dan kekasaran sosial yang lain. Ia dapat membebaskan masyarakat dari semua kebodohan yang tidak manusiawi ini; pendidikan harus ditanamkan dalam-dalam untuk mengetahui watak dan tujuan masyarakat, ikatan ekonomi dan slogan politik saja tidak bisa menutup kesenjangan antar masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Mahatma. 2009. All Men Are Brothers. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kung, Hans dkk. Etik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Komentar