NASIONALISME HUMANISTIS MAHATMA GANDHI

 

Penulis:

“Petrus Krisologus Taitoh”


Nasionalisme humanistis, sebagaimana judul artikel ini diinspirasikan dari ungkapan Gandhi tentang nasionalismenya sebagai berikut ini :

“My Nationalism, fierce though it is, is not exclusive, or designed to harm any Nation or individual. My mission is not merely brotherhood of Indian humanity. My mission is not freedom of India. Through realization of freedom of India I hope to realize and carry on the mission of brotherhood of man. The conception of my patriotisme is nothing if it is not consistent with the broadest good of the humanity at large…”

Ungkapan ini menunjukkan bahwa atribut humanitas dipilih untuk mendampingi gagasan nasionalisme, suatu gagasan yang dalam realitas memiliki kecenderungan untuk “memisahkan” bangsa lain dari bangsa sendiri. Nasionalisme menuntut adanya patriotisme (kecintaan terhadap tanah air) yang pada akhirnya dapat menimbulkan pemujaan berlebihan terhadap bangsa sendiri dan meremehkan bangsa lain (chauvinisme). Dalam suatu kesempatan Gandhi pun mengungkapkan kecintaan terhadap tanah airnya, di mana India merupakan sumber aspirasi dan kehidupan bagi Gandhi. Namun seperti yang telah dipaparkan dalam riwayat tokoh dan orientasi pemikiran, nasionalisme Gandhi tidak menunjukkan kecenderungan ke arah chauvinisme. Bahkan gagasan dalam sistem pemikiran sosial politiknya diakui ada yang mendapat pengaruh dari dunia Barat. Untuk memahami konsep nasionalisme humanistis Gandhi tersebut, maka terlebih dahulu dijelaskan pengaruh nilai religius yaitu cinta kasih atau sering disebut Ahimsa. Gandhi sangat menyakini pengaruh Ahimsa dalam gerak kehidupan dan nilai ini pula yang mendasari nasionalisme humanistisnya. Selanjutnya untuk memahami gagasan nasionalisme tersebut secara utuh, maka selain ditampilkan konsep Ahimsa, juga konsep-konsep lain yang mendukung yaitu : Satyagraha, Nation, Hind SwaRaj, Ram Raj, Panchayat, Sarvodaya, dan ekonomi khadi. Dengan memaparkan konsep-kosep tersebut kita diharapkan dapat menyimpulkan apa yang dimaksud dengan nasionalisme humanistis Gandhi. Dari pemikiran ini, kita melihat bahwa Gandhi adalah seorang nasionalis sekaligus humanis.

Nasionalisme humanistisnya merupakan sistem pemikiran yang menjunjung kemerdekaan India sekaligus membawa misi persaudaraan dan memajukan peradaban dunia. Setidaknya terdapat dua hal yang patut ditampilkan dari nasionalisme humanistis Gandhi, pertama, menyangkut prinsip tanpa kekerasan. Prinsip ini menempatkan manusia sebagai tujuan dan bukan sarana dalam proses pergerakan kemerdekaan bangsa dan kedua, menyangkut perjuangan kemanusiaan untuk mengangkat kaum harijan atau mereka “yang terpinggirkan”. Dengan prinsip tanpa kekerasan, perjuangan kemerdekaan di bawah kendali Gandhi merupakan perjuangan dengan kekuatan spiritual dalam wujud gerakan Satyagraha. Prinsip tanpa kekerasan melandasi terbentuknya model oposisi yang tidak bersifat menyerang, melukai, atau bahkan membenci lawan sehingga gerakan oposisi yang disuarakan Gandhi jauh dari hingar bingar gerakan revolusioner. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan Satyagraha sulit untuk jatuh ke pertentangan fisik yang dapat menimbulkan korban jiwa. Kekuatan gerakan Satyagraha terletak pada penghayatan rakyat terhadap Ahimsa dan ini tentunya menyulitkan karena hakekat perlawanan adalah mengalahkan lawan dengan penderitaan diri, oleh sebab itu tak mengherankan bila dalam artikel kita melihat bahwa tidak selamanya gerakan Satyagraha berhasil. Namun kenyataan ini sendiri ternyata tidak menyurutkan langkah Gandhi untuk tetap menyuarakan perjuangan tanpa kekerasan.

Dari pemikiran dan perjuangan Gandhi kita juga dapat melihat bahwa prinsip tanpa kekerasan merupakan nilai moral yang menjadi dasar tindakan politiknya. Bila kita kaji lebih jauh, prinsip tanpa kekerasan berasal dari ajaran Ahimsa, suatu nilai moral yang memiliki akar dalam ajaran agama yang diyakini Gandhi. Namun, walaupun Gandhi mengadopsi nilai-nilai religius sebagai basis tindakan politik, ia secara hati-hati tidak menempatkannya sebagai basis persatuan bangsa. Di sini menunjukan bahwa ia adalah sosok yang sekuler. Di satu sisi, Tuhan atau Kebenaran diakui sebagai satu-satunya pembenar eksistensi manusia. Manusia secara personal berelasi dengan Kebenaran melalui svadharma serta berani mempertanggungjawabkan tingkah lakunya. Di sisi lain, di tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara, Gandhi tidak menempatkan ajaran agamanya sebagai sumber aturan hidup berbangsa dan bernegara karena menurut Gandhi, bangsa India disatukan oleh budaya yang sama dan tidak berdasarkan pada agama tertentu.

Aspek humanistis dalam nasionalisme Gandhi tidak hanya menonjol dalam prinsip tanpa kekerasan, melainkan juga dalam gagasan kesetaraan dan keadilan sosial yang tercakup dalam Sarvodaya. Sarvodaya adalah suatu tatanan sosial ideal di mana nilai-nilai kemanusian diperjuangkan untuk mencapai kebebasan sosial-politik bagi jutaan orang miskin dan terpinggirkan. Seiring dengan Sarvodaya lahirlah gagasan SwaRaj, ekonomi khadi dan Panchayat Raj. Secara umum, gagasan tersebut lahir untuk mengangkat bangsa India dari dominasi bangsa Inggris dan secara khusus untuk membebaskan kaum harijan dari ketertindasan dalam sistem kasta serta dari eksploitasi sistem ekonomi yang menerapkan mekanisasi. Inilah SwaRaj atau kemerdekaan sejati bagi bangsa India.

Selanjutnya ada satu hal lagi yang dapat ditarik dari kehidupan Gandhi dan dapat diacu dalam hidup masa kini yaitu integritas moral dan sikapnya sebagai seorang nasionalis. Ia menghayati nilai-nilai religius tanpa terperangkap dalam eksklusivisme agama. Bahkan nilai-nilai tersebut dikembangkan untuk semakin mencintai sesama umat manusia, sehingga dalam pemikiran Gandhi tidak memberi ruang terhadap paham diskriminasi, sebaliknya, nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan martabat manusia dijunjung tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui prinsip tanpa kekerasan, antidiskriminasi serta solidaritas terhadap kaum harijan atau kaum yang terpinggirkan, Gandhi telah memberi sumbangan besar bagi gerakan perjuangan India sekaligus perjuangan kemanusiaan umumnya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Samar Guha, The Mahatma and The Netaji, Two Men of Destiny of India, New Delhi: Sterling Publisher Private Ltd, 1986.

V. Prabhakaran, Contemporary Indian Philosophy, MalappuRam Kerala: Calicut University, 2011.

Komentar